Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Amnesty International Tunjuk Enam Produsen Vaksin Covid-19 yang Dianggap Memicu Krisis HAM

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Rabu, 22 September 2021, 21:46 WIB
Amnesty International Tunjuk Enam Produsen Vaksin Covid-19 yang Dianggap Memicu Krisis HAM
Kelompok HAM Amnesty International menilai, enam produsen top vaksin Covid-19 bertanggungjawab karena memicu krisis hak asasi manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya/Net
rmol news logo Enam produsen top vaksin Covid-19 bertanggungjawab karena memicu krisis hak asasi manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu terjadi lantaran para produsen vaksin tersebut menolak melepaskan hak kekayaan intelektual dan berbagi teknologi vaksin.

Begitu tudingan yang diutarakan oleh kelompok HAM Amnesty International dalam sebuah laporan terbaru berjudul "A. Double Dose od Inequality” yang dirilis pada Rabu (22/9).

Keenam produsen vaksin Covid-19 yang dimaksud adalah AstraZeneca, BioNTech, Johnson & Johnson, Moderna, Novavax dan Pfizer.

"Memvaksinasi dunia adalah satu-satunya jalan keluar dari krisis ini,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, sebagaimana dimuat Al Jazeera.

“Sudah waktunya untuk memuji perusahaan-perusahaan ini, yang menciptakan vaksin begitu cepat, sebagai pahlawan. Tetapi sebaliknya, yang membuat mereka malu dan duka kita bersama, pemblokiran transfer pengetahuan yang disengaja oleh Big Pharma dan dorongan serta kesepakatan mereka untuk mendukung negara-negara kaya telah menghasilkan kelangkaan vaksin yang benar-benar dapat diprediksi dan sangat menghancurkan bagi banyak orang lainnya," sambungnya.

Dia menambahkan, pihaknya meninjau sejumlah aspek kebijakan Hak Asasi Manusia setiap perusahaan seperti struktur harga vaksin, catatan tentang kekayaan intelektual, berbagi pengetahuan dan teknologi, alokasi yang adil dari dosis vaksin yang tersedia, dan transparansi.

Hasilnya, Amnesty International menemukan bahwa pada tingkat yang berbeda, enam pengembang vaksin tersebut gagal memenuhi tanggung jawab HAM.

"Dari 5,76 miliar dosis yang diberikan di seluruh dunia, hanya 0,3 persen yang masuk ke negara-negara berpenghasilan rendah dengan lebih dari 79 persen pergi ke negara-negara berpenghasilan menengah ke atas dan tinggi,” begitu kutipan laporan tersebut.

Meskipun ada seruan untuk memprioritaskan dan berkolaborasi dengan COVAX, yakni instrumen internasional yang bertujuan untuk memastikan alokasi vaksin global yang adil, beberapa perusahaan masih gagal melakukannya.

Bukan hanya itu, perusahaan-perusahhaan itu juga menentang proposal untuk sementara mencabut hak kekayaan intelektual, seperti Pengesampingan Aturan Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (TRIPS) yang diusulkan oleh India dan Afrika Selatan.

“Hari ini menandai 100 hari menuju akhir tahun. Kami menyerukan kepada negara bagian dan perusahaan farmasi untuk mengubah arah secara drastis dan melakukan segala yang diperlukan untuk mengirimkan dua miliar vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah mulai sekarang. Tidak seorang pun harus menghabiskan satu tahun lagi menderita dan hidup dalam ketakutan," tegas Callamard. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA