Kondisi ini menjadi semacam pukulan tersendiri bagi pemerintahan junta militer yang kini berkuasa di Myanmar.
"Ini akan mengguncang para jenderal karena mereka cukup terobsesi dengan tingkat kyat sebagai barometer ekonomi yang lebih luas, dan karenanya mencerminkan mereka," kata pakar Myanmar di International Crisis Group, Richard Horsey.
Merujuk pada kabar yang dimuat
Channel News Asia, pada bulan Agustus lalu, Bank Sentral Myanmar mencoba menambatkan kyat 0,8 persen terhadap dolar Amerika Serikat. Namun kemudian menyerah pada 10 September karena tekanan pada nilai tukar meningkat.
Kekurangan dolar telah menjadi sangat buruk sehingga beberapa penukar uang telah menutup pintu mereka, salah satunya adalah penukaran mata uang Northern Breeze Exchange Service.
"Karena ketidakstabilan harga mata uang saat ini, semua cabang Northern Breeze Exchange Service ditutup sementara," kata pihak
money changer itu dalam sebuah pengumuman.
Sementara itu,
money changer yang masih beroperasi menggunakan tarif 2.700 kyat per dolar AS pada Selasa (28/9). Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 1.695 kyat pada 1 September dan 1.395 kyat pada 1 Februari, ketika militer menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi.
Merujuk pada sebuah laporan yang diterbitkan pada awal pekan ini, Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi Myanmar akan merosot sebesar 18 persen tahun ini, sebagian karena dampak dari pandemi Covid-19.
Tekanan ekonomi yang meningkat ini terjadi di tengah tanda-tanda peningkatan kekerasan yang terjadi di Myanmar, di mana milisi bersenjata kerap bentrok dengan pasukan militer di sejumlah daerah di Myanmar.
"Semakin buruk situasi politik, semakin buruk nilai mata uangnya," kata seorang eksekutif senior di sebuah bank Myanmar, yang menolak disebutkan namanya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: