Hilangnya pendapatan keluarga yang diakibatkan penguncian global dan ditutupnya sekolah-sekolah selama lebih dari satu tahun, membuat anak-anak di Bangladesh terjun membantu mencari nafkah.
Anak-anak dibayar dengan upah yang sangat rendah karena ketersediaan pekerja anak yang membludak. Mereka bekerja di bengkel pinggir jalan, tempat pencuci mobil, restoran, toko kelontong, dan bagian kebersihan, seperti dilaporkan
AFP, Minggu (14/11).
Tak jarang, anak-anak itu bekerja di tempat yang tidak selayaknya untuk usia mereka dan membahayakan.
Anak-anak dari bagian masyarakat yang lebih miskin yang paling banyak muncul sebagai penderita pandemi terburuk karena banyak yang terpaksa putus sekolah dan menjadi pekerja anak.
Para pemerhati anak mengamati bahwa jika pemerintah tidak bertindak cepat, maka anak-anak akan semakin terpuruk.
Sejak tahun 2000, pekerja anak telah dipangkas sebanyak 94 juta. PBB memiliki target untuk mengakhiri pekerja anak pada 2025. Namun, dengan adanya peningkatan jumlah pekerja anak selama pandemi, target tersebut agaknya sulit untuk dicapai.
Penulis Kevin Watkins dalam salah satu artikelnya mengatakan: Pekerja anak merupakan gejala kemiskinan dan penyebab kekurangan pendidikan.
"Ini menularkan kemiskinan lintas generasi, menjebak anak-anak dalam lingkaran kemiskinan, dan melemahkan pertumbuhan ekonomi nasional," tulisnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: