Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian mengatakan, jaminan tersebut untuk meningkatkan kepercayaan Teheran yang telah kandas lantaran langkah sepihak AS yang meninggalkan JCPOA pada 2018 dan menerapkan lebih banyak sanksi kepada Iran.
"Setidaknya parlemen atau ketua parlemen mereka, termasuk Kongres AS, dapat menyatakan dalam bentuk pernyataan politik komitmen mereka terhadap kesepakatan dan kembali ke implementasi JCPOA," ujarnya kepada
The Financial Times, Rabu (16/2).
Permintaan itu muncul di tengah hampir rampungnya negosiasi untuk menghidupkan kembali JCPOA di Wina, Austria.
"Pada prinsipnya, opini publik di Iran tidak dapat menerima sebagai jaminan kata-kata seorang kepala negara, apalagi Amerika Serikat, karena penarikan Amerika dari JCPOA," lanjut Amirabdollahian.
JCPOA ditandatangani oleh China, Jerman, Prancis, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, dan Iran, serta Uni Eropa, pada tahun 2015. Kesepakatan ini memberikan pelonggaran sanksi sebagai imbalan bagi Iran yang membatasi program nuklirnya.
Pada 2018, mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari JCPOA dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran. Sebagai tanggapan, Iran mengumumkan pengurangan bertahap komitmennya berdasarkan kesepakatan, menghapus pembatasan yang ditempatkan pada penelitian nuklir dan pengayaan uranium.
Setelah menjabat pada Januari 2021, Presiden AS Joe Biden berusaha untuk menghidupkan kembali kesepakatan dan memperbarui komitmen AS di bawah JCPOA.
Negosiasi semua pihak terkait diluncurkan di Wina pada April 2021. Selama putaran ketujuh pembicaraan, selesai pada 17 Desember, kedua pihak menyetujui dua rancangan kesepakatan baru yang mencerminkan kepentingan Iran. Putaran kedelapan dimulai pada 27 Desember dan diperkirakan akan segera berakhir.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: