Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

G30S/PKI, Amerika Serikat dan Perpecahan Sino-Soviet

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Senin, 21 Februari 2022, 15:59 WIB
G30S/PKI, Amerika Serikat dan Perpecahan Sino-Soviet
Momen pertemuan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dengan Ketua Mao Zedong di Beijing/Net
rmol news logo Gerakan 30 September atau G30S merupakan bagian dari luka sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 itu mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia. Jenazah mereka dimasukkan ke dalam satu lubang sumur di area Lubang Buaya, Jakarta.
Penyebutan persitiwa ini memiliki ragam jenis, Presiden Soekarno menyebut peristiwa ini dengan istilah GESTOK (Gerakan Satu Oktober), sementara Presiden Soeharto menyebutnya dengan istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), dan pada masa Orde Baru kemudian dinamakan G30S/PKI. (Gerakan 30 September PKI).

Peristiwa ini memiliki kaitan dengan situasi internasional yang terjadi pada masa itu.

Seorang pengajar sejarah di University of the Sunshine Coast di Queensland, Australia bernama Greg Poulgrain, baru-baru ini membuat tulisan mengenai isu tersebut di counterpunch.org berjudul "Gestapu: How the US Used an Indonesian Massacre to Deepen the Sino-Soviet Split".

Dalam tulisan itu dia menyebut bahwa pada bulan Februari 1972, Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Hendry Kissinger, serta Presiden Amerika Serikat Richard Nixon melakukan kunjungan bersejarah ke China untuk bertemu dengan Ketua Mao Zedong.

Kissinger dan Nixon pada saat itu menggambarkan pertemuan tersebut sebagai "membalik halaman sejarah". Namun, mereka tidak tidak pernah menyebutkan bagaimana pemulihan hubungan Amerika Serikat dan China pada saat itu dikaitkan dengan salah satu pembantaian terburuk di abad ke-20, yakni peristiwa G30S/PKI yang terjadi di Indonesia.

Mengapa demikian?

Ajudan Kissinger saat itu, yakni Winston Lord, pernah menjelaskan bahwa kunjungan itu bisa terjadi hanya ketika "Blok Sino-Soviet" tidak lagi menjadi "blok". Dia pun memuji upaya yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk membuat pertemuan tersebut menjadi mungkin.

Pada masa itu, ada sebuah nama yang memiliki peran penting di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dia adalah Marshall Green, seorang pakar terkait China. Dia juga merupakan salah satu dari tiga belas orang yang ikut dalam delegasi Nixon ke Beijing.

Seluk-beluk pemecahan blok Sino-Soviet telah lama menjadi pekerjaan Green sebelum dia menjadi ajudan Menteri Luar Negeri William Rogers.

Perpecahan Blok Sino-Soviet

Kembali ke akhir tahun 60an, Rusia dan China yang pernah menjadi sekutu Perang Dingin, adalah musuh yang mematikan.

China khawatir akan terjadinya serangan nuklir. Pasalnya, pertempuran tank besar telah terjadi di timur laut China. Selain itu, orang-orang Uighur di barat daya juga telah menerima dukungan Soviet.

Bahkan di sepanjang bagian perbatasan China, 40 divisi pasukan Soviet, atau setara dengan sekitar setengah juta orang, bersiaga dan memicu ancaman.

Lantas apa peran yang dilakukan oleh Marshall Green?

Tidak sampai 25 tahun setelah kunjungan bersejarah Nixon ke China untuk bertemu Mao, Green mulai terbuka untuk menjelaskan perannya dalam perpecahan blok Sino-Soviet.

“Saya terlibat dalam hal ini sejak awal… Saya sangat dekat dengan orang-orang intelijen kami, dan beberapa orang intelijen kami mendapat informasi yang sangat baik," kata Green dalam sebuah wawancara.

Dia merupakan salah satu tokoh penting dalam kelompok terpilih yang terlibat dalam strategi “mendorong jurang antara Moskow dan Beijing”. Strategi ini pertama kali dirumuskan dalam laporan panel Rockefeller Brothers pada tahun 1958.

Selain Green, tokoh lain yang juga berpartisipasi adalah Kissinger dan Direktur Central Intelligence (DCI) Allen Dulles.

Peran Allen Dulles

Blok Sino-Soviet pada waktu itu, masih utuh meskipun perbedaan ideologis antara Beijing dan Moskow telah terdeteksi pertama kali oleh pengamat Amerika Serikat pada tahun 1950an.

Penasihat Allen Dulles tentang Indonesia, yakni Guy Pauker pada saat itu mengatakan bahwa rekannya yang bernama Allen S. Whiting, adalah orang pertama yang memverifikasi perpecahan Sino-Soviet.

Namun kemudian pada tahun 1961, DCI Dulles tidak sepenuhnya memberi tahu Presiden John F. Kennedy (JFK) tentang perpecahan Sino-Soviet yang terjadi dan justru memberitahu bahwa "perpecahan" itu mungkin merupakan taktik Perang Dingin.

Meskipun Kennedy mencopot Dulles dari kantor pada akhir tahun itu, namun pengaruh Dulles bisa dikatakan hampir tidak berkurang. 


"Atas nama kerajaan minyak Rockefeller dan "kompleks industri militer", Dulles mengejar perubahan rezim di Indonesia, yang sebelumnya merupakan koloni terkaya di dunia.

Pada saat itu, menggulingkan Presiden Sukarno dari tampuk kekuasaan, bagaimanapun, bertentangan dengan strategi Presiden Kennedy.

Namun kemudian rencana kunjungan JFK ke Jakarta pada awal tahun 1964 mengancam akan mengganggu tahap akhir dari rencana perubahan rezim yang telah dimulai oleh Dulles pada tahun 1958.

PKI dan Blok Sino Sovie

Kennedy pada saat itu tidak menyadari persaingan sengit antara Moskow dan Beijing untuk memenangkan dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Masing-masing secara terpisah mencari dukungan dari PKI karena di luar blok Sino-Soviet, PKI adalah partai komunis terbesar di dunia. PKI memiliki tiga juta anggota dan 20 juta simpatisan. Moskow dan Beijing masing-masing ingin mendapatkan keuntungan dari yang lain dalam perjuangan ideologis mereka. Karena itulah, masing-masing dari mereka "merayu" PKI sebagai partai terbesar berikutnya di luar blok.

Marshall Green, sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia tahun 1965-1969, membantu Jenderal Angkatan Darat Suharto untuk menggantikan Presiden Sukarno.

Meskipun Dulles melabeli Sukarno sebagai komunis, namun nasionalismenya yang kuat dengan mudah dijamin oleh Richard Nixon, ketika menjadi wakil presiden pada 1950-an, setelah bertemu Sukarno di Jakarta dan juga pada tahun 1961 oleh JFK, ketika Sukarno mengunjungi Washington.

Dukungan rakyat untuk Sukarno datang dari jutaan petani miskin yang tidak memiliki tanah. Banyak dari mereka adalah petani padi yang tertarik pada janji reformasi tanah PKI.

Sementara itu, pada pengarahan, CIA memperingatkan tentang kelanjutan pertumbuhan Komunis yang tak terbendung selama Presiden Sukarno memimpin. Pertumbuhan seperti itu, bagaimanapun, tidak dapat berlanjut tanpa batas waktu dan tanpa mengarah pada pengambilalihan Komunis. Kemungkinan besar hal itu bisa terjadi dengan konstitusional, kemungkinan kecil dengan cara-cara revolusioner.

Ketika Allen Dulles masih DCI, semua usahanya untuk membunuh Sukarno gagal. Pada periode 1962-1965, dia masih beroperasi dari bekas kantornya di Foggy Bottom, Washington, daripada markas baru CIA di Langley. Dia memanfaatkan 50 tahun pengalaman dan kontaknya di bidang intelijen dan rencana perubahan rezim di Indonesia pun mengalami perubahan taktik.

PKI sendiri menjadi fokus dalam taktik itu dengan tujuan untuk melihat PKI "dibuang" dari tubuh-politik, merampas Sukarno dari basis kekuasaan utamanya dan dengan demikian mencapai perubahan rezim.

Sebagai bukti "kejeniusan jahat" Dulles, fokus baru pada PKI itu sendiri memiliki keuntungan tambahan. Metode pergantian rezim di Indonesia ini juga akan membawa implikasi geo-politik dari perpecahan Sino-Soviet. Itu adalah formula yang juga akan memenangkan dukungan penuh Perang Dingin dari Kepala Staf Gabungan. Pertimbangan ini, pada tahun 1963, dalam hal menghentikan kunjungan Kennedy ke Jakarta, terbukti sangat penting.

Kemudian pada tahun 1965-1966, terjadi pembantaian di Indonesia, di mana orang-orang yang dituduh Komunis, dibantai.

Green pernah merujuk pembantaian itu dengan sebutan “pembalikan yang diderita Maoisme di Indonesia pada 1965-66". Green juga pernah memuji Perdana Menteri China Zhou Enlai pada saat itu atas pragmatismenya dalam bereaksi terhadap "pembalikan" itu dan menyebutnya sebagai salah satu orang terbesar abad ini. Dia juga memuji Zhou Enlai atas keputusan untuk mengundang Nixon bertemu Mao.

Meski begitu, klaim atas keterlibatan resmi Amerika Serikat dalam apa yang terjadi di Indonesia selalu dibantah. Padahal, apa yang terjadi di Indonesia pada saat itu memiliki efek yang diinginkan dalam hal memecah Moskow dan Beijing, yang pada akhirnya memberikan peluang tersendiri bagi Amerika Serikat.

Sebagai topik urusan luar negeri di pemerintahan dan media Amerika Serikat Indonesia menjadi wilayah yang terlupakan dan jarang disebutkan.

"Kaitan Green dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia perlu dilihat mengingat sebagian besar korban tewas hanyalah petani padi. Tidak diragukan lagi bahwa dampak politik dari kematian mereka menyebabkan dominasi Suharto dan melarang PKI di Indonesia, tetapi pada saat yang sama,, mengenai perselisihan Sino-Soviet, dampaknya dalam hal 'mendorong irisan antara Moskow dan Soviet. Beijing' sangat efektif," tulis Greg Poulgrain. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA