Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kapok Dukung NATO di Afghanistan, Pakistan Tolak Ajakan Mengutuk Rusia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 07 Maret 2022, 12:02 WIB
Kapok Dukung NATO di Afghanistan, Pakistan Tolak Ajakan Mengutuk Rusia
Perdana Menteri Imran Khan/Net
rmol news logo Tekanan sejumlah diplomat negara agar Pakistan ikut bergabung dengan resolusi PBB yang mengutuk Rusia atas serangan militernya di Ukraina membuat marah Perdana Menteri Imran Khan, menuduh para utusan memperlakukan negaranya seperti 'budak'.

Pada rapat umum yang diselenggarakan Minggu (6/3), Khan membalas surat bertanggal 1 Maret dari diplomat yang mewakili 22 misi, termasuk negara-negara di Uni Eropa bersama dengan Jepang, Swiss, Kanada, Inggris, dan Australia.
Surat itu mendesak Pakistan untuk menghentikan netralitasnya dan bergabung mereka dalam mengutuk Moskow.
“Apa pendapatmu tentang kami? Apakah kami budakmu. Apa pun yang kamu katakan, kami akan melakukannya?" tanya Khan menanggapi isi surat itu, seperti dikutip dari AP, Senin (7/3).
Ia juga menanyakan kepada duta besar Uni Eropa apakah mereka menulis "surat seperti itu ke India," yang juga tetap netral.

Dalam pidatonya, Khan juga mengklaim bahwa Pakistan telah menderita karena sebelumnya mendukung aksi militer NATO di Afghanistan.
“Kami berteman dengan Rusia, dan kami juga berteman dengan Amerika; kami berteman dengan China dan Eropa; kita tidak berada di kamp mana pun," tegasnya.

Pakistan, bersama dengan 34 negara lainnya, abstain dalam pemungutan suara atas resolusi PBB yang mengutuk “agresi Rusia terhadap Ukraina” pekan lalu. Tetangga Pakistan India, Bangladesh, Cina, Iran, Sri Lanka, Tajikistan, Kirgistan, dan Kazakhstan juga abstain.

Khan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Kremlin pada 24 Februari, hari di mana Moskow meluncurkan operasi militernya di Ukraina, untuk membahas hubungan bilateral dan masalah regional.

Moskow menyatakan bahwa serangan itu diluncurkan dengan tujuan "demiliterisasi" dan "denazifikasi" Ukraina, dan bahwa itu adalah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk melindungi rakyat Ukraina timur setelah bertahun-tahun blokade melelahkan yang merenggut ribuan nyawa.

Kiev, sementara itu, menegaskan invasi itu tidak beralasan, dengan mengatakan pihaknya tidak memiliki rencana untuk merebut kembali republik Donetsk dan Luhansk yang memisahkan diri dengan paksa. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA