Setelah Prancis, kini Inggris menyusul langkah tersebut.
Penolakan pembayaran gas dengan rubel disampaikan juru bicara Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dalam sebuah pernyataan Rabu (30/3) waktu setempat.
"Menteri Negara untuk Strategi Bisnis, Energi dan Industri, Kwasi Kwarteng, menjelaskan bahwa mereka tidak akan membayar dalam rubel,†kata juru bicara Johnson kepada wartawan, seperti dikutip dari
AFP. Tidak seperti negara-negara lain di Eropa, Inggris tidak tergantung pada pasokan gas Moskow. Rusia hanya menyediakan sekitar 5 persen dari impor gas Inggris.
Namun, lonjakan harga energi telah mempengaruhi perekonomian Inggris.
Menurut Kantor Statistik Nasional, 51 persen orang Inggris saat ini menghabiskan lebih sedikit untuk barang-barang yang tidak penting karena meningkatnya biaya energi, 34 persen menghemat gas dan listrik di rumah, sementara 31 persen menghabiskan lebih sedikit untuk makanan dan barang-barang penting.
Secara keseluruhan, sekitar 83 persen dari mereka yang disurvei menunjukkan pertumbuhan pengeluaran sehari-hari di tengah kenaikan harga gas dan listrik.
Pada 28 Maret, Putin menginstruksikan agar Bank Sentral dan Gazprom menerapkan serangkaian tindakan untuk mengubah pembayaran pasokan gas alam ke dalam mata uang rubel, dan berlaku untuk 'negara-negara yang tidak bersahabat'.
Putin mengklarifikasi bahwa Rusia akan tetap memasok gas sesuai dengan volume dan prinsip penetapan harga yang sesuai dengan kontrak. Hanya mata uang pembayaran yang akan berubah, katanya. Hal itu pun diberlakukan karena sanksi yang dijatuhkan Barat terhadap Rusia.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: