Begitu yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah wawancara di Washington pada Jumat (22/4) yang dikutip dari
Reuters.
Dalam pernyataannya, Sri Mulyani menyambut langkah China bergabung sebagai salah satu dari tiga negara komite kreditur yang berupaya memberikan keringanan utang bagi Zambia di bawah Kerangka Bersama G20 dengan Paris Club.
Namun ia menyebut, masih banyak langkah lain yang diperlukan agar Zambia melanjutkan proses utangnya.
Di samping itu, Sri Mulyani menekankan, masalah utang bukan hanya dialami Zambia, tapi juga banyak negara berpenghasilan rendah dan pasar berkembang di seluruh dunia.
“Akan ada lebih banyak kasus yang datang," ucapnya.
Ia menyebut ada sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah saat ini berada di dalam atau di puncak risiko kesulitan utang.
"Pada titik tertentu China harus mengakui bahwa mereka perlu melangkah untuk benar-benar mengambil lompatan semacam itu, dan menyediakan platform bagi semua kreditur untuk dapat mendiskusikan bagaimana restrukturisasi ini (utang)," kata Sri Mulyani.
Zambia menjadi negara pertama yang default selama pandemi Covid-19 pada 2020, dengan beban utang hampir 32 miliar dolar AS atau 120 persen dari produk domestik brutonya.
Sebagai kreditur terbesar di dunia, China kerap dinilai sulit melakukan kesepakatan restrukturisasi utang.
Bahkan setelah menandatangani Kerangka Kerja Bersama pada tahun lalu, Ethiopia dan Chad juga belum menerima keringanan utang.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: