Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

The Atlantic: Facebook, Twitter, dan Keruntuhan Demokrasi Amerika

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sulthan-nabil-herdiatmoko-1'>SULTHAN NABIL HERDIATMOKO</a>
LAPORAN: SULTHAN NABIL HERDIATMOKO
  • Sabtu, 14 Mei 2022, 14:36 WIB
The Atlantic: Facebook, Twitter, dan Keruntuhan Demokrasi Amerika
Ilustrasi /Net
rmol news logo Di-ibaratkan seperti keruntuhan Menara Babel, yakni menara yang sinonim dengan tragedi perpecahan dan fragmentasi sosial, pembangunan jaringan media sosial di Amerika Serikat diprediksikan akan memicu keruntuhan Babel kedua di era modern ini.

Ditulis dalam kolom majalah media barat The Atlantic, penulis Jonathan Haidt, seorang psikolog sosial di New York University Stern School of Business menganalogikan fenomena post-truth politics yang kini semakin marak di Amerika, seperti keruntuhan Babel kedua.

Haidt, dalam tulisannya, mengatakan bahwa demokrasi yang sukses itu harus dijunjung oleh 3 pilar yang kokoh, yakni modal sosial (jaringan sosial yang luas dengan tingkat kepercayaan yang tinggi), institusi yang kuat, dan sikap berbagi cerita.

“Media sosial telah melemahkan ketiganya. Untuk melihat bagaimana, kita harus memahami bagaimana media sosial berubah dari waktu ke waktu. Dan terutama dalam beberapa tahun setelah 2009, yakni perubahan drastis yang dialami oleh Facebook dan Twitter, ” tulis Haidt, di kolom majalah The Atlantic bertajuk “Why The Past 10 Years Of American Life Have Been Uniquely Stupid”, 11 April 2022, diterbitkan ke dalam majalah edisi Mei 2022.


Permainan Sosial Facebook dan Twitter

Haidt mengatakan, sebelum 2009, Facebook yang masih terasa ‘hangat’ di mata publik, dimana mayoritas penggunanya menceritakan kehidupan pribadi dan saling berkoneksi di tingkatan pribadi.

Namun itu mulai berubah ketika CEO Facebook Mark Zuckerberg mengenalkan fitur Share button, yang dapat membuat postingan tersebut disebarluaskan secara instan, tanpa perubahan isi sedikitpun.

Di tahun yang sama, Twitter yang masih berada di masa infansinya, juga memiliki fitur Re-tweet, fitur yang serupa dengan Share Facebook punya.

Disaat itulah, Haidt berasumsi bahwa budaya ‘Share and Like’ yang sangat kompetitif untuk mencari ketenaran internet yang bersifat fana, dimulai.

“Pada tahun 2013, media sosial telah menjadi permainan baru, dengan dinamika yang berbeda dengan tahun 2008. Jika Anda terampil atau beruntung, Anda mungkin membuat posting yang akan “menjadi viral” dan membuat Anda “terkenal di internet” selama beberapa hari. Jika Anda melakukan kesalahan, Anda bisa menemukan diri Anda terkubur dalam komentar kebencian. Postingan Anda menjadi terkenal atau terhina berdasarkan klik dari ribuan orang asing, dan Anda pada gilirannya menyumbangkan ribuan klik ke permainan sosial itu,” ujar Haidt.

“Permainan baru ini mendorong ketidakjujuran dan dinamika massa, para pengguna tidak hanya dipandu oleh preferensi mereka yang sebenarnya, tetapi juga oleh pengalaman penghargaan dan hukuman mereka di masa lalu, dan prediksi mereka tentang bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap setiap tindakan baru,” imbuhnya.

Bukan hanya membuang-buang waktu dan perhatian yang penting, Haidt mengatakan, permainan itu adalah pengikisan rasa kepercayaan yang diperlukan bagi demokrasi, secara terus-menerus.

Sebuah otokrasi dapat menyebarkan propaganda atau menggunakan ketakutan untuk mencari peristiwa yang diinginkannya, tetapi demokrasi bergantung pada penerimaan, yang diinternalisasikan secara luas terhadap legitimasi aturan, norma, dan institusi.

Haidt mengatakan, memang betul tidak ada kepercayaan buta di dunia ini, tetapi ketika warga kehilangan kepercayaan pada pemimpin terpilih, otoritas kesehatan, pengadilan, polisi, universitas, dan integritas pemilu, maka setiap keputusan pemerintahan akan menjadi kontroversial.

“Setiap pemilu menjadi perjuangan hidup dan mati untuk menyelamatkan negara dari sisi oposisi,” ujarnya.

Memperkuat argumennya dengan data, Haidt menjelaskan bahwa Barometer Kepercayaan Edelman edisi 2022, yakni ukuran internasional kepercayaan warga negara pada pemerintah, bisnis, media, dan organisasi non-pemerintah, menunjukkan sistem pemerintahan otokrasi yang stabil dan kompeten seperti Cina dan Uni Emirat Arab berada di daftar teratas.

Sementara demokrasi yang kontroversial seperti Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, dan Korea Selatan mencetak skor di dekat bagian bawah.


Post-truth Politics dan Media Sosial

Mark Zuckerberg mungkin tidak memperkirakan dan menginginkan hal-hal mengerikan seperti disinformasi, rasa amarah, dan benih fragmentasi itu dominan di Facebook-nya, saat ia membuat platform media itu pada 2004.

Namun kenyataan pahit menunjukkan bahwa pada 2015, yang sering di-istilahkan “The Great Awokening”, meletakkan media sosial sebagai alat utama dalam politik post-truth.

Disaat itu, Mantan Presiden AS Donald Trump sedang gencar-gencarnya menggunakan gaya politiknya yang mengguncang baik hati dan pikiran seluruh rakyat Amerika, sampai ke elit politik disana.

“Trump tidak menghancurkan menara Babel modern itu, dia hanya mengeksploitasi kejatuhannya. Dia adalah politisi pertama yang menguasai dinamika baru era pasca-Babel, di mana kemarahan adalah kunci viralitas, dan kinerja panggung menghancurkan kompetensi. Twitter disaat itu dapat mengalahkan semua surat kabar di negara ini, dan cerita tidak dapat dibagikan (atau setidaknya dipercaya) telah menyebar keseluruh relung sosial Amerika Serikat, sehingga kebenaran tidak dapat bersinar kembali,” jelas Haidt.

Haidt kemudian menganalogikan media sosial disaat itu seperti panah dart, dikatakan media sosial telah memberikan 3 panah bagi seluruh rakyat Amerika, mulai dari kaum lansia, sampai ke kaum muda.

Pertama, media sosial memberi lebih banyak kekuatan untuk  provokator sambil membungkam warga negara yang baik.

Kedua, media sosial memberikan lebih banyak kekuatan dan suara ke ekstrem politik sambil mengurangi kekuatan dan suara mayoritas moderat.

Dan yang terakhir, dengan memberikan media sosial kepada seluruh rakyat Amerika, alat itu mewakilkan semua orang untuk menegakkan keadilan tanpa proses hukum.

Poin terakhir itu bisa dibilang sangat identik dengan deskripsi post-truth, dimana "Fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, ketimbang daya tarik emosi dan keyakinan pribadi" sebagaimana ditafsirkan oleh Oxford.

Haidt menjelaskan, hambatan yang paling luas untuk pemikiran yang baik adalah bias konfirmasi, yang mengacu pada kecenderungan manusia untuk hanya mencari bukti yang menegaskan keinginan pribadi.

Bahkan sebelum munculnya media sosial, mesin pencari seperti Google telah meningkatkan bias konfirmasi, membuatnya jauh lebih mudah bagi orang untuk menemukan bukti atas kepercayaan yang tidak masuk akal dan teori konspirasi, seperti bahwa Bumi itu datar dan bahwa pemerintah AS melakukan serangan 9/11.

“Tapi media sosial membuat segalanya jauh lebih buruk,” tulis Haidt.

“Media sosial yang dilihat semakin dominan telah meningkatkan politik viralitas. Satu kata yang diucapkan oleh seorang profesor, pemimpin, atau jurnalis, bahkan jika diucapkan dengan niat positif, dapat menyebabkan badai api media sosial, memicu pemecatan langsung atau penyelidikan yang berlarut-larut,”, imbuhnya.

Para peserta di lembaga-lembaga pemerintahan Amerika mulai menyensor diri ke tingkat yang tidak sehat, menahan kritik terhadap kebijakan dan gagasan yang seharusnya dapat membangun negara.

Tetapi ketika sebuah institusi menghukum perbedaan pendapat internal, itu justru semakin merusak kepercayaan internal di tingkat pemerintahan.

“Kebodohan modern di sayap kanan (Partai Republikan AS) paling terlihat dalam banyak teori konspirasi yang menyebar di media sayap kanan, itu sekarang juga masuk ke dalam ranah Kongres AS. Ada juga keyakinan bahwa vaksin mengandung microchip, keyakinan bahwa Donald Trump memenangkan pemilihan kembali. Semua ini mencapai level yang tak terkira akibat Facebook dan Twitter,” kata Haidt.

Tidak hanya di sayap kanan, Demokrat juga terkena dampaknya, menurut Haidt.

“Ketika setiap orang diberikan media sosial di awal 2010-an, banyak institusi sayap kiri mulai menembak diri mereka sendiri di otak (membodohkan diri). Dan sayangnya, mereka adalah otak yang menginformasikan, mengajar, dan menghibur sebagian besar Amerika,” tegas Haidt.

Di akhir opini, Haidt menjelaskan bahwa hukuman atas berbeda pendapat di Amerika saat ini bukanlah dianggap sebagai ‘pengkhianat’, melainkan dianggap sebagai ‘Karen’, ‘Transphobic’, ‘Rasis’ atau istilah kejam yang memarginalkan aspek sosial lainnya.

“Demokrasi Amerika sekarang beroperasi di luar batas normal. Jika kita tidak segera membuat perubahan besar, maka institusi kita, sistem politik kita, dan masyarakat kita dapat runtuh selama pandemi, krisis keuangan, atau krisis konstitusional berikutnya,” tulisnya.

“Bagaimana rasanya tinggal di Babel pada hari-hari setelah kehancurannya? Kita tahu. Ini adalah waktu kebingungan dan kehilangan. Tetapi ini juga merupakan waktu untuk merenung, mendengarkan, dan membangun,” tutup Haidt. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA