Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tiga Pemimpin yang Bisa Pengaruhi Urusan Global: Xi Jinping, Vladimir Putin dan Recep Tayyip Erdogan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 17 Juni 2022, 07:24 WIB
Tiga Pemimpin yang Bisa Pengaruhi Urusan Global: Xi Jinping, Vladimir Putin dan Recep Tayyip Erdogan
Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Recep Tayyip Erdogan/Net
rmol news logo Krisis kepemimpinnan dunia jadi sorotan pemimpin Serbia Bosnia, Milorad Dodik. Menurutnya, masalah yang dihadapi dunia menuntut kenegarawanan dari para pemimpin serius, dan itu sama sekali tidak ada di Barat.

Dodik mengatakan, saat ini hanya ada tiga pemimpin dunia yang dapat mempengaruhi urusan global. Mereka termasuk Vladimir Putin dari Rusia, pemimpin China Xi Jinping dan kepala negara Turki Recep Tayyip Erdogan.

“Ada defisit kepemimpinan yang serius di kancah global. Hanya sedikit pemimpin yang bisa mengambil keputusan. Jangan bilang ada orang kuat di Barat yang bisa menyelesaikan masalah global dengan keterlibatan mereka," kata Dodik di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF), Kamis, seperti dikutip dari RT, Jumat (17/6).

"Saya pikir mungkin ada dua atau tiga pemimpin yang serius – Presiden Putin, Xi, dan mungkin Erdogan,” lanjutnya.

Dodik mengatakan, masalah yang saat ini meresahkan dunia membutuhkan tanggapan yang kuat dari para pemimpin yang kuat, yaitu negarawan yang dapat mengabaikan kebisingan sehari-hari untuk membuat keputusan luas yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh generasi mendatang.

Terkait masalah Rusia, Dodik, seorang sosial-demokrat yang telah membentuk politik Bosnia sejak 2006, membawa beberapa pelajaran dari perang Balkan tahun 1990-an, yang memecah Yugoslavia dan mendirikan protektorat yang didukung Barat sebagai gantinya.

“Barat ingin negara-negara menjadi pengikut atau lingkungannya, tidak ada yang lain. Itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Tapi saya pikir sistem itu baru saja rusak,” katanya kepada panel di St. Petersburg, menunjuk pada contoh Bosnia sebagai protektorat de facto.

"Sejak berakhirnya perang saudara pada tahun 1995, negara tersebut telah memiliki 'perwakilan tinggi' yang memberlakukan undang-undang dan bahkan mengamandemen konstitusi," kata anggota Kepresidenan Bosnia dan Herzegovina dari Suku Serbia ini.

Rusia, katanya, menolak untuk menjadi pengikut tetapi sebaliknya menawarkan untuk menjadi mitra, dan ditolak.

"Itulah sebabnya konflik saat ini di Ukraina bukan antara Moskow dan Kiev, tetapi sebuah kontes kehendak global, di mana mereka yang diduga tidak ambil bagian - Barat - ingin menang," katanya.

"Kecuali Barat juga ingin secara resmi keluar dari perang, jadi mereka mencari kemenangan dengan mengirimkan senjata ke Kiev dan berjuang ke Ukraina," tambah Dodik.

Mendesak diakhirinya kekerasan dengan cepat, Dodik menyalahkan pemerintah Ukraina yang menurutnya tidak bertanggung jawab karena terperangkap oleh narasi Barat tentang kehidupan yang lebih baik sebagai anggota Uni Eropa dan NATO.

"Tentu saja, itu semua adalah kebohongan yang tidak ada yang benar-benar bisa membuktikannya," ia menekankan.

Pemimpin Serbia Bosnia juga menunjukkan bahwa Barat sekarang bersikeras pada kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina tetapi tidak mempedulikannya dalam kasus Serbia, ketika "membentuk provinsi Kosovo pada tahun 1999, mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 2008, dan sekarang menuntut Beograd mengakuinya seperti itu.

"Barat menuduh Moskow memiliki pengaruh jahat di Balkan, tetapi bukan Rusia yang membom kami dengan uranium yang terkuras,” kata Dodik.

Desakan Dodik pada kedaulatan Serbia di Bosnia sejalan dengan perjanjian damai 1995 telah menempatkannya di daftar hitam sanksi AS daan Inggris, mengklaim bahwa retorikanya telah merusak perdamaian. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA