Ibu-ibu di Chiedza Community Welfare Trust, di Distrik Mutasa Zimbabwe, mulai menjahit pembalut kain karena menyadari bahwa gadis-gadis setempat bolos sekolah setiap bulan. Itu lantaran mereka tidak mampu membeli pembalut sekali pakai.
"Kalau dihitung dua sampai lima hari per bulan, sekitar 45 hari per tahun waktu sekolah yang terbuang percuma, sehingga kami menyadari perlunya mereka memiliki sumber pembalut yang berkelanjutan,†kata pendiri komunitas, Gladys Mukaratirwa seperti dikutip
Reuters pada Selasa (19/7).
Kelompok yang dijalankan oleh sukarelawan wanita tersebut menjual pembalutnya kepada individu dan badan amal di seluruh Zimbabwe untuk dibagikan kepada siswi dan wanita disabilitas.
Sebuah studi oleh SNV Netherlands Development Organization di Zimbabwe mengungkap, kenaikan harga pembalut yang saat ini setara dengan 2 dolar AS atau Rp 29 ribu, mengakibatkan 3 juta anak perempuan Zimbabwe yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak mampu untuk membelinya.
Menurut Kementerian Perempuan dan Pemuda, 67 persen anak perempuan bolos sekolah saat menstruasi karena kurangnya akses ke produk sanitasi dan fasilitas sanitasi bersih. Bahkan, anak perempuan penyandang disabilitas biasanya sama sekali tidak bersekolah.
Badan Statistik Nasional Zimbabwe menyebut pemerintah Zimbabwe telah berusaha menghapus pajak untuk semua produk sanitasi. Tetapi periode kemiskinan semakin diperburuk oleh inflasi yang mencapai lebih dari 191,6 persen.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: