Amnesty International mengatakan sangat mengecam penghilangan paksa karena melanggar HAM dan termasuk ke dalam tindak kejahatan dalam hukum internasional.
Wakil Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Selatan, Dinushika Dissanayake menyatakan keluarga korban terus dikecewakan pemerintah karena kurangnya akses ke keadilan.
“Ketidakadilan diperparah dengan perlakuan kejam yang diberikan kepada keluarga korban yang ikut memprotes. Tindakan keras terhadap hak protes damai harus segera diakhiri,†tegasnya, seperti dikutip
ANI News pada Jumat (12/8).
Kelompok HAM ini kemudian menekan pemerintah untuk segera memberi tahu alasan penangkapan dan menjamin hak-hak korban agar dapat mengakses pendampingan dari pengacara untuk membela diri.
Selain itu, Amnesty juga meminta pemerintah untuk memfasilitasi dan menjamin hak kebebasan berkumpul secara damai dalam unjuk rasa untuk memperjuangkan keadilan korban hilang.
Terakhir, Pakistan juga harus menyetujui Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (CED).
Isu penghilangan paksa di Pakistan bermula pada era Musharraf pada tahun 1999 hingga 2008, tetapi praktik tersebut tetap berlanjut hingga pemerintahan berikutnya.
Pihak berwenang Pakistan, termasuk lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana, telah gagal menunjukkan niatnya untuk mengakhiri tindak penghilangan paksa.
Menurut laporan Human Rights Watch berjudul "Melawan Badai: Penghilangan Paksa dan Hak untuk Memprotes", badan intelijen Pakistan sering menggunakan penghilangan paksa untuk menargetkan pembela HAM, aktivis politik, mahasiswa, dan jurnalis yang menentang pemerintah.
Laporan tersebut juga mendokumentasikan tindak pelecehan, intimidasi, dan bahkan kekerasan oleh negara untuk meredam protes damai yang dilakukan keluarga korban hilang.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: