Laporan dari Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan, mereka kehilangan tepatnya 39,59 persen media dan 59,86 persen jurnalis.
Perusahaan media di bawah rezim Taliban menghadapi banyak tantangan. Selain karena krisis ekonomi, terbatasnya kebebasan pers juga membuat akhirnya banyak dari mereka gulung tikar.
Sementara banyak jurnalis, terutama perempuan, yang kehilangan pekerjaannya.
“Tiga perempat (jurnalis) kini menganggur dan tidak ada lagi di 11 provinsi. Semua ini terjadi di tengah krisis ekonomi yang mendalam dan tindakan keras terhadap kebebasan pers,†tulis laporan RSF, seperti dimuat
Zee News, Selasa (16/8).
Sekretaris Jenderal RSF Christophe Deloire mengatakan jurnalisme telah dihancurkan selama satu tahun terakhir di Afghanistan.
Ia kemudian menyerukan agar pihak berwenang bisa bertindak tegas untuk mengakhiri kekerasan dan pelecehan yang dialami para pekerja media, dan meminta pihak berwenang untuk membiarkan pekerja media melakukan pekerjaan tanpa gangguan.
Data dari RSF menunjukkan, Afghanistan pada awalnya memiliki 547 perusahaan media. Tetapi sejak Taliban berkuasa, 219 perusahaan media menghentikan aktivitasnya.
Ribuan jurnalis meninggalkan Afghanistan sebagai akibat dari perubahan politik. Beberapa dari mereka saat ini dikabarkan tinggal di Pakistan dan negara-negara lain.
“Imarah Islam harus bekerja dengan media dan jurnalis untuk membentuk komite yang menangani pelanggaran media dan akses informasi,†kata Ketua Asosiasi Jurnalis Independen Afghanistan, Hojatullah Mujadidi.
Laporan dari Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afghanistan (UNAMA) menyebutkan pelanggaran hak asasi manusia di Afghanistan berdampak pada 173 jurnalis dan pekerja media.
Menurut UNAMA, selama satu tahun terakhir ini telah terjadi penutupan lebih dari setengah media, evakuasi ratusan jurnalis, dan meningkatnya pembatasan kerja, kekerasan, serta ancaman terhadap jurnalis.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: