Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jika Perang Pecah di Taiwan, Mampukah AS Potong Pasokan Minyak China?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/hani-fatunnisa-1'>HANI FATUNNISA</a>
LAPORAN: HANI FATUNNISA
  • Sabtu, 20 Agustus 2022, 20:04 WIB
Jika Perang Pecah di Taiwan,  Mampukah AS Potong Pasokan Minyak China?
Ilustrasi/Net
rmol news logo China telah memicu perang dengan menempatkan kapal militernya di sekitar Selat Taiwan. Namun jika perang benar-benar terjadi, apakah China mampu melakukannya di tengah besarnya kekuatan militer Amerika Serikat (AS) yang akan siap membantu Taiwan memperoleh kemerdekaannya?

Seperti dikutip dari Wion News, China merupakan konsumen minyak terbesar kedua di dunia setelah AS. Namun berbeda dengan AS, China bukanlah negara penghasil energi karena sebanyak 72 persen minyaknya berasal dari impor negara.

Merujuk pada perang terakhir China dengan Vietnam pada 1979, jika perang lain akan pecah maka permintaan minyak akan semakin bertambah. China membutuhkan minyak untuk mencukupi kehidupan 1,4 juta warganya, menjalankan pabrik industrinya serta kapal perang.

Sementara itu, sumber minyak mentah utama China sebagian besar berasal dari negara Asia Barat dengan presentase Arab Saudi sebesar 17 persen, Rusia 15 persen, Irak 10 persen, Oman 8 persen, Angola 7 persen, dan Kuwait 6 persen. Sebanyak 60 persen Distribusi minyak dari asia Barat diangkut melalui kapal laut ke Beijing.

Pengangkutan minyak China akan melalui tiga jalur utama yakni Teluk Persia dan Teluk Oman, Selat Malaka, dan terakhir Selat Singapura. 

Sayangnya, Angkatan Laut AS telah mengontrol tiga jalur itu dengan mengerahkan lima armadanya di Kawasan, termasuk Teluk Arab, Laut Merah, Teluk Oman dan Laut India.
AS memiliki tentara yang ditempatkan pada sepuluh pangkalan militer di Arab Saudi dan sepuluh di Kuwait. Sangat jauh berbeda dengan China yang tidak memiliki pangkalan militer satu pun di Asia barat. Adapun yang terdekat yang dimiliki adalah pos terdepan Beijing di Djibouti.

Beijing memiliki sengketa wilayah di laut China Selatan dan negara tetangga di Asia tenggara. Sementara itu AS tetap berpatroli di kawasan itu dan menjadi kekuatan dominan di Pasifik. Jika AS memotong jalur itu maka tidak akan ada minyak untuk menggerakkan kapal perang China.

Blokade minyak AS dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama dengan upaya penerobosan yang dilakukan melalui kerjasama militernya dengan pos terdepan AS. Namun itu akan menjadi opsi yang beresiko karena kapal perang China masih belum diujicobakan dan lomba tembak menembak bukanlah keinginan AS.

Cara kedua adalah melalui sisi samping laut atau jalur Belt and Road Initiative (BRI), dimana China berusaha untuk membangun jalan dari Asia barat ke China. Namun, misi ini tidak berjalan lancar akibat virus Covid-19 yang menyebar.

Seberapa jauh AS siap untuk melangkah, mengingat blokade akan mempengaruhi China dan berpengaruh pada sekutu AS di kawasan seperti Jepang dan Korea Selatan.

Jika Joe Biden melihat Taiwan sebagai Ukraina, dengan sikap tidak terlalu berharap namun tetap mengirim senjata dan beberapa kapal perang saja, mungkin potensi eskalasi akan sangat kecil.

Namun, jika AS melihat Taiwan sebagai kunci kepentingan strategisnya, maka blokade akan terjadi dan China akan menghadapi mimpi buruk akibat blokade minyak yang dilakukan AS. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA