Melalui pertemuan tersebut, kedua negara memiliki pandangan yang sama bahwa kesepakatan yang dilakukan Ankara dengan otoritas politik Tripoli merupakan ancaman pada stabilitas kawasan.
"Pemerintah persatuan yang akan keluar di Tripoli tidak memiliki wewenang untuk melakukan perjanjian internasional atau menandatangani nota kesepahaman apa pun dengan negara mana pun," tegas Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry seperti dimuat
Xinhua.
Pencapaian stabilitas politik di Libya dan Mediterania Timur merupakan salah satu tujuan strategis bagi Yunani dan Mesir. Oleh sebab itu, keduanya mendesak agar pemilihan di Tripoli segera dilakukan.
"Yunani dan Mesir mendukung upaya untuk membuka jalan pemilihan presiden dan parlemen di Libya," ujar Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis.
Sejak jatuhnya rezim Muammar Gaddafi pada 2011 lalu, Libya mengalami ketidakstabilan dan kekacauan politik yang terpecah menjadi dua pemerintah oposisi.
Penunjukkan Fathi Bashagha sebagai perdana menteri oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau parlemen pada Maret lalu, memperoleh penolakan dari PM yang berbasis di Tripoli, Abdul-Hamed Dbeibah yang tidak ingin mundur dari jabatannya sebelum pemilihan dilakukan.
Dalam ketengan tersebut, Turki justru menandatangani MoU dengan pemerintah Dbeibah untuk dapat mengeksplorasi ladang minyak dan gas di beberapa wilayah Mediterania timur, di mana Yunani mengklaim memiliki kedaulatannya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: