Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Meski dari Jauh, Pekerja Migran Qatar Tetap Bisa Saksikan Piala Dunia di Layar Raksasa Asian Town

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/hani-fatunnisa-1'>HANI FATUNNISA</a>
LAPORAN: HANI FATUNNISA
  • Minggu, 27 November 2022, 12:22 WIB
Meski dari Jauh, Pekerja Migran Qatar Tetap Bisa Saksikan Piala Dunia di Layar Raksasa Asian Town
Pekerja migran bersorak dalam festival penggemar di stadion kriket Asian Town di Doha, Qatar/Net
rmol news logo Setelah diberitakan memperoleh perlakukan yang tidak baik selama bekerja di Qatar, kini para pekerja migran berkesempatan menonton Piala Dunia, meskipun hanya melalui layar raksasa yang pemerintah sediakan di pinggir Lapangan Kriket Asian Town.

Dimuat Associated Press pada Sabtu (26/11), para pekerja migran berbondong-bondong pergi ke sana untuk menghabiskan waktu libur kerjanya dan menonton pertandingan Belanda melawan Ekuador.

Qatar sebenarnya yelah menyediakan tiket masuk stadion khusus dan lebih murah kepada penduduk seharga 40 riyal atau Rp 167 ribu.

Namun mereka yang tidak mampu membeli tiket tersebut, bisa menonton pertandingan di layar raksasa stadion Asian Town.

Stadion yang diterangi lampu sorot menjadi riuh dengan musik pop Hindi dan tarian India.

Mereka melompat kegirangan dan beberapa pria mengangkat diri di atas bahu teman-teman mereka.

Sebagain besar mereka mengenakan jeans dan T-shirt, atau shalwar kameez, kemeja selutut dengan celana longgar yang umum di Asia Selatan.

Menurut standar Barat, gaji rata-rata pekerja migran di Qatar sering kali melebihi apa yang dapat mereka hasilkan di rumah dan berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi keluarga mereka di India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.

Pemerintah Qatar menetapkan jika gaji para pekerja tidak boleh kurang dari 1.000 riyal atau setara Rp 4,3 juta.

Namun menurut penuturan salah seorang migran, Anmol Singh yang bekerja sebagai tukang listrik mengklaim dapat mengirimkan sisa gaji pada orangtuanya di India hingga 2.184 riyal atau setara dengan Rp 9,4 juta perbulan.

Para migran juga menyatakan jika bekerja di Qatar adalah impian banyak orang di negaranya.

Kaplana Pahadi, seorang petugas kebersihan berusia 21 tahun dari Nepal, telah lebih dari empat tahun bekerja di negara itu dan mampu membayar biaya pengobatan bagi ibunya, yang menderita masalah jantung setelah kematian ayahnya.

Beberapa waktu lalu, Qatar banyak dikritik karena memberikan upah rendah, perumahan yang tidak ramah, dan jam kerja yang panjang di tengah panas terik kepada para migran.

Qatar akhirnya merombak sistem tenaga kerjanya dan menghapus sistem kafala yang mengikat visa pekerja dengan pekerjaan mereka serta menetapkan upah minimum.

Tetapi kelompok HAM menilai masih banyak harus dilakukan termasuk penanganan terhadap penundaan upah pekerja dan biaya perekrutan yang biasa migran bayar untuk memperoleh pekerjaan mereka. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA