Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Teguh Santosa: Nasib Uighur, Konsekuensi Kebangkitan China sebagai Kekuatan Raksasa

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Kamis, 06 April 2023, 10:52 WIB
rmol news logo  Masyarakat internasional tanggal 5 April kemarin memperingati peristiwa berdarah Pemberontakan Baren yang terjadi tahun 1990. Ketika itu, masyarakat Uighur di Kawasan Otonomi Xinjiang Uighur (XUAR) memprotes kebijakan rezim Partai Komunis di Republik Rakyat China (RRC) dengan mengepung kantor-kantor lembaga pemerintah, dan menuntut kemerdekaan dari China.

Ketegangan berlangsung selama beberapa hari, dan puncaknya terjadi setelah Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dikerahkan untuk menangkap ribuan pengunjuk rasa.

Ketika berbicara dalam seminar internasional yang membahas Pemberontakan Baren yang digelar Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Indonesia pada Rabu (5/4), wartawan senior Teguh Santosa mengatakan, peristiwa itu merupakan salah satu penanda penting dalam perjuangan kedaulatan bangsa Uighur.

Tidak dapat dipungkiri, sebutnya, bangsa Uighur memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan lebih panjang dari sejarah rezim komunis China. Sejarah panjang itulah yang membentuk identitas kebangsaan Uighur berbeda dari bangsa-bangsa lain di kawasan Asia Tengah, termasuk dari China.

Sejarah bangsa Uighur membentang lebih dari 2.000 tahun. Berawal dari sebuah suku nomaden kecil dari Pegunungan Altai yang saling mewarnai dan memberi pengaruh dengan berbagai bangsa lain di sekitar Pegunungan Altai, Asia Tengah, Indo-Eropa, juga Sino-Tibet. Berbagai dinamika membuat bangsa Uighur pada akhirnya mendiami Cekungan Tarim di baratlaut China kini.

Seminar bertajuk "Baren Uprising of 1990: Uyghurs Continue to Fight for their Rights" itu juga menghadirkan pembicara lain, yakni Dr. Ayjaz Wani dari Observer Research Foundation (ORF), Dr. Dinna Prapto Raharja dari Universitas Binus, dan peneliti CSEAS Veeramalla Anjaiah.

"Saya selalu melihat sistem internasional yang kita adopsi di mana kita hidup saat ini dimulai dari akhir Perang Dunia Kedua. Artinya, inilah “Big Bang” atau titik nol sistem internasional,” ujar dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dia juga mengatakan, akhir Perang Dunia Pertama yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Versailles pada 28 Juni 1919 memiliki kontribusi bagi terbentuknya Republik Turkestan Timur Pertama (1933-1934) dan Republik Turkestan Timur Kedua (1944-1949).

Realita geopolitik pada masa-masa itu memaksa Republik Turkestan Timur “terjebak” di tengah pertarungan dua raksasa, Uni Soviet yang komunis dan Republik China yang nasionalis (Kuomintang).

“Ini membuat wilayah yang ditempati bangsa Uighur menjadi arena pertarungan kepentingan para pihak yang khawatir perang di masa depan akan kembali menempatkan mereka pada situasi yang berbahaya,” sambung Teguh.

Jatuh bangun Republik Turkestan Timur terjadi karena faktor pertarungan kepentingan ini.

Di sisi lain, Teguh menambahkan, rezim komunis yang berkuasa di China daratan setelah mengalahkan Kuomintang pada Perang Saudara yang berlangsung dari tahun 1947 sampai 1949 kerap kali menggunakan catatan kuno dari masa yang lalu dalam mendefinisikan batas-batas wilayah mereka.

Teguh menyebut hal ini sebagai imajinasi geografis.

Salah satu contohnya adalah klaim China komunis bahwa perairan Laut China Selatan merupakan wilayah perairan tradisional mereka, yang merujuk pada pelayaran yang armada Dinasti Ming di abad ke-15, atau bahkan armada Dinasti Yuan yang didirikan Kublai Khan dua abad sebelum itu.

“Seolah-olah Partai Komunis China adalah pewaris monarki dari zaman kuno itu,” ujar Teguh lagi.

Rezim China komunis merasa memiliki kewajiban untuk memulihkan imajinasi geografis itu dengan merebut perairan teritorial negara-negara baru lainnya yang lahir setelah "Big Bang" sistem internasional, dan secara sadar menolak UNCLOS 1982 yang mereka tandatangani sendiri.

Padahal di dalam UNCLOS 1982 sama sekali tidak ada catatan, apalagi pengakuan, atas wilayah perairan China komunis di wilayah tersebut.

Meski pelayaran-pelayaran itu pernah terjadi, namun sama sekali tidak relevan dalam konteks modern. Selain terlalu banyak armada dari berbagai negeri yang melintasi perairan itu, juga karena negara-negara baru di kawasan yang lahir pasca Big Bang sistem internasional telah menjadi entitas yang kokoh dalam praktis sistem internasional saat ini.

Imajinasi geografis ini juga coba diwujudkan China komunis di daratan dengan mencaplok negeri-negeri yang berbatasan langsung dengan mereka, seperti Uighur yang direbut tahun 1949 dan Tibet yang direbut setahun kemudian.

Uighur dicaplok Partai Komunis China dua minggu setelah mereka berhasil menjungkalkan rezim Kuomintang. Perang Saudara China berakhir pada 7 Desember 1949, dan pada 22 Desember 1949 China mulai menganeksasi Ughur. Di tahun 1955, Uighur dimasukkan ke dalam Daerah Otonomi Xinjiang Uighur (XUAR).

“Saya kira ada kecenderungan kuat di mana China komunis mengabaikan sistem internasional yang bekerja untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia,” masih kata Teguh.

Sambungnya, keengganan China untuk menghormati sistem internasional dapat dipahami karena Partai Komunis China tidak terlibat dalam proses pembentukan sistem internasional itu.

PKC dan RRC menikmati sistem internasional sebagai “hadiah” setelah normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat pada 1970an.

“Jadi pada dasarnya kita berbicara tentang konsekuensi dari rangkaian peristiwa itu, di mana China telah bangkit menjadi kekuatan raksasa yang memiliki kemampuan mendikte lanskap global,” demikian Teguh sambil berharap diskusi ini dapat membangkitkan kesadaran dan solidaritas baru dalam membela nasib bangsa Uighur. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA